Saat Antibiotik Tak Lagi Manjur
Kita tentu sudah tak asing lagi dengan obat-obatan yang bernama
antibiotik. Antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan
oleh mikroorganisme seperti bakteri, jamur, parasit dan virus. Perannya
sudah tidak diragukan lagi dalam dunia kedokteran. Banyak penyakit
infeksi yang dulu merenggut nyawa jutaan penduduk dunia, sekarang bisa
disembuhkan dengan antibiotik.
Misalnya, sebut saja malaria. Ratusan tahun lalu, penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium ini telah menewaskan banyak orang. Setelah ditemukannya chloroquine pada tahun 1934, yang ternyata mampu membunuh Plasmodium, menyusul dibuatnya senyawa quinine sintetis pada tahun 1944, banyak pasien yang kemudian dapat sembuh dari penyakit ini.
Tuberkulosis (TB), hingga puluhan tahun lalu masih dianggap sebagai
'vonis mati', bahkan di negara-negara Eropa. Siapa yang terkena, yah...
tinggal banyak berdoa dan pasrah deh. Pasien TB ditempatkan di
sanatorium pedesaan atau pegunungan. Selain agar keluarga si pasien
tidak tertular, diharapkan udara yang bersih dan sejuk di lingkungan
sanatorium akan membantu penyembuhan. Tapi nyatanya, lebih dari 50
persen pasien TB meninggal dalam waktu lima tahun. Baru pada tahun
1960-an, setelah ilmuwan menemukan bahwa kombinasi antibiotik streptomycin, P.A.S dan isoniazide dapat menyembuhkan TB, banyak pasien tuberkulosis yang diobati akhirnya sehat kembali.
Sejarah penemuan antibiotik sendiri cukup menarik lho. Kita napak tilas
dikit ya? Antibiotik pertama kali ditemukan pada tahun 1928 oleh
Alexander Fleming. Itu pun secara ngga sengaja. Suatu hari seusai
bekerja di laboratorium, Fleming meninggalkan cawan petri berisi biakan
bakteri Staphylococcus. Dua minggu kemudian saat kembali ke
laboratoriumnya, Fleming mendapati kapang telah tumbuh pada cawan
tersebut, dan daerah di sekitar kapang tampak bersih, padahal tadinya
cawan penuh dengan pertumbuhan bakteri Staphylococcus.
Karena penasaran, Fleming terus meneliti kapang itu, yang ternyata adalah Penicillium notatum. Dari kapang ini, dibuatlah senyawa antibiotik bernama penicillin. Obat
ini ternyata berjasa banget menyelamatkan nyawa para tentara Perang
Dunia II yang mengalami infeksi pada luka-luka di tubuh mereka. Wajarlah
kalau Fleming akhirnya diganjar penghargaan nobel atas penemuannya itu.
Kenal dong yaa sama golongan antibiotik yang satu ini. Mulai dari
penyakit batuk-pilek, radang amandel, sampai luka terbuka di kulit, bisa
diobati dengan penicillin. Harganya terjangkau pula. Murah meriah deh pokoknya.
Dokter Fleming serius banget melototin biakan bakteri. Gambar diperoleh dari sini |
Seiring perkembangan zaman, ditemukan pula antibiotik-antibiotik baru
dari berbagai golongan, yang lebih mumpuni dan efektif. Misalnya cephalosporin, carbapenem dan fluoroquinolone. Penggunaannya
sudah meluas di berbagai belahan dunia. Namun, setelah tahun 1970-an,
tak banyak kemajuan berarti dalam penemuan antibiotik baru. Dulu ini
mungkin tak dipersoalkan, karena antibiotik-antibiotik yang ada cukup
efektif untuk mengendalikan penyakit-penyakit infeksi di masa itu.
Namun, saat ini semakin banyak terjadi kasus resistensi antibiotik,
alias mikroorganisme menjadi kebal terhadap antibiotik, sehingga
diperlukan antibiotik lain, yang notabene lebih canggih dan lebih mahal,
untuk membunuhnya.
Demam tifoid, misalnya. Penyakit saluran cerna ini memiliki
gejala-gejala berupa demam selama 7 hari atau lebih, biasanya demam
terjadi pada sore atau malam hari, disertai rasa mual, muntah, nyeri
perut atau diare. Biang keladinya, yaitu bakteri Salmonella typhimurium, dulu cukup dibasmi dengan antibiotik golongan chloramphenicol
yang lumayan terjangkau harganya. Setelah banyak terjadi kasus demam
tifoid yang resisten terhadap golongan obat tersebut, terapi beralih ke
antibiotik fluoroquinolone. Namun, lagi-lagi bakteri Salmonella mulai menunjukkan kekebalan juga terhadap fluoroquinolone.
Kenapa kasus mikroorganisme kebal obat kini marak? Suka ngga suka, kita
harus mengakui bahwa kita sendirilah salah satu penyebabnya. Selama 70
tahun terakhir, telah terjadi pemakaian antibiotik secara berlebihan
dan tidak rasional di seluruh dunia, baik pada manusia maupun pada hewan
ternak. Termasuk di Indonesia.
Pernah dengar soal ayam ternak yang pakannya dicampur antibiotik supaya
tak gampang sakit? Atau bahkan ada di antara kita yang mempraktekkannya?
Pernahkah merasa penyakit kita sudah sembuh setelah minum antibiotik selama dua hari, lalu kita berhenti minum obat itu, padahal dokter jelas-jelas berpesan, "Antibiotiknya harus dihabiskan ya!"?
Pernahkah membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek, dan hanya mengira-ngira nama dan dosis obat itu dari pengalaman, "Kayaknya dulu waktu sakit diare begini, dokter ngasih antibiotik A deh? Kayaknya dosisnya segitu deh."?
Pernahkah kita mengganti sendiri antibiotik yang diresepkan dokter dengan antibiotik lain karena merasa obat dari dokter ngga tokcer?
Atau, pernahkah memaksa dokter agar memberi antibiotik untuk penyakit kita padahal menurut dokter belum perlu?
Pernahkah merasa penyakit kita sudah sembuh setelah minum antibiotik selama dua hari, lalu kita berhenti minum obat itu, padahal dokter jelas-jelas berpesan, "Antibiotiknya harus dihabiskan ya!"?
Pernahkah membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek, dan hanya mengira-ngira nama dan dosis obat itu dari pengalaman, "Kayaknya dulu waktu sakit diare begini, dokter ngasih antibiotik A deh? Kayaknya dosisnya segitu deh."?
Pernahkah kita mengganti sendiri antibiotik yang diresepkan dokter dengan antibiotik lain karena merasa obat dari dokter ngga tokcer?
Atau, pernahkah memaksa dokter agar memberi antibiotik untuk penyakit kita padahal menurut dokter belum perlu?
Kalau sebagian besar jawabannya adalah ya, maka selamat! Kita sudah
berperan membuat mikroorganisme penyebab penyakit menjadi kebal
antibiotik! :(
Antibiotik bukan permen yang boleh dikonsumsi siapa saja. Juga bukan
vitamin yang boleh distop kapan saja. Dan jangan dianggap sama seperti
obat pegal linu yang sekali minum saja sudah bikin sembuh.
Banyak penyakit infeksi memiliki gejala yang sekilas mirip satu sama
lain, misalnya malaria dan demam tifoid. Sama-sama ada demam yang sering
disertai mual muntah. Tapi penyebab keduanya sangat berbeda. Malaria
disebabkan oleh parasit, sedangkan demam tifoid disebabkan oleh bakteri.
Antibiotik untuk keduanya jelas beda dong.
Setiap mikroorganisme penyebab penyakit juga punya karakteristik
masing-masing. Ada yang bisa dibasmi hanya dengan dosis antibiotik
selama lima hari, ada yang baru bisa dibunuh tuntas setelah
berbulan-bulan digempur antibiotik!
Antibiotik pun punya karakteristik masing-masing. Misalnya, penicillin lebih cepat berkurang kadarnya di dalam tubuh kita dibandingkan dengan ciprofloxacin, sehingga supaya bekerja sempurna, penicillin perlu diminum tiga kali sehari sedangkan ciprofloxacin cukup dua kali sehari.
Mulai paham kan, kenapa dokter memberikan antibiotik yang berbeda,
dengan dosis dan cara minum yang berbeda untuk berbagai penyakit?
Nah, apa jadinya kalau kita mengkonsumsi antibiotik seenaknya? Salah
pilih, salah dosis, atau menghentikan minum antibiotik sesukanya bisa
menyebabkan mikroorganisme bermutasi alias berubah sifatnya menjadi
kebal terhadap antibiotik. Akibatnya, kita juga yang rugi lho. Kita jadi
butuh waktu lebih lama dan antibiotik yang lebih mahal untuk sembuh.
Resiko kematian akibat infeksi juga meningkat. Dan pastinya, biaya
pengobatan pun menjadi lebih mahal.
Awas! Bakteri yang masih hidup karena
konsumsi antibiotik tak sesuai aturan,
dapat berubah menjadi kebal obat.
Gambar diperoleh dari sini
|
Jika penggunaan antibiotik yang sembarangan masih terus berlanjut, bukan
tak mungkin nanti akan tiba masa di mana antibiotik tak lagi ada
berguna karena sudah tidak manjur untuk menyembuhkan penyakit infeksi.
Bayangkan, dunia seolah mundur seribu langkah ke abad ke-19 di mana luka
remeh macam tergores pisau cukur bisa berujung pada kematian, dan
penyakit seperti kolera dan disentri kembali menjadi wabah yang membunuh
jutaan orang.
Jangan sampai sakit atau menularkan penyakit kepada orang lain.
Kalau sehat, tidak perlu sampai minum antibiotik kan?
Selalu jaga kebersihan tangan. Tangan adalah anggota tubuh kita yang paling aktif 'mengembara' kemana-mana. Coba ingat-ingat, benda apa saja yang sudah kita sentuh hari ini? Lembaran uang kembalian? Sayuran mentah di pasar? Gagang pintu? Bayangkan, alangkah banyak mikroorganisme yang telah kontak dengan tangan kita melalui benda-benda tersebut. So, jangan lupa cuci tangan sebelum dan sesudah makan. Pastikan tangan kita bersih sebelum bermain-main dengan anak atau sesudah merawat orang yang sakit.
Makanlah makanan yang cukup dan bergizi, agar daya tahan tubuh kuat. Sistem kekebalan tubuh yang oke ibarat benteng kokoh yang melindungi kita dari serangan penyakit infeksi. dan tidak gampang sakit. Selain itu, lingkungan sekitar juga mesti sehat. Misalnya, upayakan bagian dalam rumah kita mendapat sinar matahari yang cukup. Kondisi ruangan yang cenderung lembab bakal bikin mikroorganisme seperti jamur dan parasit betah hidup di sana.
Untuk penyakit-penyakit tertentu yang sudah ada vaksinnya, misalnya meningitis dan tuberkulosis, kita bisa mencegahnya dengan cara vaksinasi. Kalaupun setelah itu masih terkena penyakit juga, setidaknya dengan vaksinasi tidak terjadi komplikasi penyakit yang parah.
Yuk cegah penyakit infeksi agar tak harus minum antibiotik! Gambar diperoleh dari sini |
Jangan sembarangan mengkonsumsi antibiotik.
Kalaupun kita sakit dan perlu mengkonsumsi antibiotik, maka lakukan
dengan benar! Minumlah antibiotik hanya bila diresepkan oleh dokter.
Dosis dan aturan pakainya mesti sesuai dengan perintah dokter, serta
wajib dilanjutkan sampai tuntas sekalipun kita sudah merasa lebih baik.
Satu lagi nih, jangan pakai obat sisa bekas orang lain ya,
mentang-mentang pingin irit. Soalnya, kondisi penyakit seseorang belum
tentu sama dengan orang lain, jadi penanganannya tidak bisa
disamaratakan begitu saja. Lagipula obat-obat bekas bisa jadi khasiatnya
sudah berkurang, misalnya karena tidak disimpan dengan baik atau sudah
kadaluarsa.
Referensi:
Cegah Resistensi Terhadap Antibiotik
Cara mengkonsumsi antibiotik yang benar. Gambar diperoleh dari sini |
Referensi:
Cegah Resistensi Terhadap Antibiotik
0 komentar:
Posting Komentar