SOLO (Voa
Islam) - Merebaknya bisnis Family Karaoke diduga kuat menjadi modus
baru bagi cover tindak kemaksiatan. Seorang wartawan senoir Solo
melempar soal, kenapa tidak ada yang datang berkeluarga ke tempat-tempat
tersebut ? Kenapa yang datang hanya kaum lelaki dewasa ?
Bahkan
dalam pantauan dan investigasi yang dilakukannya, Zhensho dan Amazone
Family Karaoke menggelar tari telanjang dengan tarif yang murah dan
mudah dijangkau masyarakat kelas apapun. Namun foto-foto tari telanjang
yang diajukan kepada pihak kepolisian tidak ditindaklanjuti. Bukti
gambar-gambar seronok dan menjijikkan tersebut seakan tidak membuat
aparat kepolisian bergeming dan tergerak nuraninya untuk mengambil sikap
profesionalnya selaku pengayom masyarakt.
Hingga
pada hari Rabu, 16/01/2013 silam, Laskar-laskar ummat Islam se-Soloraya
bergerak mengepung dan melakukan unjuk rasa menuntut ditutupnya Zensho
Family Karaoke yang berada di jalan Kebangkitan Nasional, belakang
kompleks Taman Sriwedari tersebut. Namun seperti biasa, tindak kritis
masyarakat semacam ini disikapi sebagai ancaman keamanan.
Jangankan
menangkap pemilik Zensho, bahkan menanyai sang penari telanjang yang
ada dalam foto-foto yang telah sampai di tangan merekapun tidak segera
dilakukan. Masak, warga mesti berinisiatif dengan dipajang gambar sang
penari telanjang itu di tiang-tiang listrik dengan tulisan WANTED di
penjuru Solo. Kasus Zensho akhirnya menguap bak spirtus yang dingin itu.
Bersamaan
dengan merebaknya sikap penolakan Raperda Miras tempo hari di Solo,
tiba-tiba masyarakat kembali dikejutkan dengan adanya serangan bom
Molotov yang dilakukan sekelompok orang terhadap Zensho Family Karaoke.
Seakan sang penyerang berpesan bahwa disamping merebaknya miras di Solo
masih ada bahaya lain yang mengancam kehidupan masyarakat Solo. Yakni
virus kemaksiatan yang bersembunyi dan beranak-pinak pada bisnis yang
seolah legal namun menjajakan ‘kejangakan’ seksual di kota asal Jokowi
ini.
Dari sini
pihak aparat keamanan justru seakan bersemangat karena mendapat amunisi
untuk mengejar pelaku serangan Zensho. Timbul pertanyaan dari nurani
kita sebagai warga yang terancam oleh berbagai penyakit masyarakat,
kenapa sumber-sumber penyakit masyarakat terkesan dilindungi atas nama
aturan dan ketertiban sedangkan tindak kritis masyarakat terhadap
sumber-sumber kerusakan segera ditindak-lanjuti dengan kerja
professional kepolisian?
Melempar
bom Molotov jelas suatu kesalahan menurut perspektif hukum yang mereka
bela, tapi keberadaan family Karaoke seperti Zensho yang melakukan
bisnis tari telanjang adalah juga pelanggaran hukum dan perusakan
nialai-nilai luhur yang ada dalam. kehidupan masyarakat. Kecuali kita
sepakat, karena dorongan syahwat perut dan sejengkal dibawahnya sudah
mendominasi akal sehat maka nanti akan ada juga Raperda Pengaturan Tari
Telanjang di Solo? Apa begitu jalan pikiran kita … na’udzubillahi min
dzalik!
Sebagai
masyarakat yang wasih waras akal dan nuraninya serta masih menjadikan
agama sebagai cara hidup, pasti kita berada pada barisan yang akan
memerangi kemunafikan pihak aparat keamanan walau mereka bersenjata dan
bersembunyi dibalik berbagai peraturan mandul yang digunakan sesuai
versinya sendiri.
Tabloid
SuaraKami yang baru terbit di Solo dalam halaman 15 menulis judul
Menunggu Keberanian Aparat Tutup Zensho pada sebuah artikel yang
mengupas sedikit bisnis illegal tari telanjang dibalik bisnis Family
Karaoke. Judul yang memberi kesan kepengecutan pihak berwenang saat
menghadapi cukong-cukong berduit. Pisau keadilan tumpul bagi para cukong
tapi sangat tajam bagi masyarakat lemah.
Terbukti,
kepolisian Resort Surakarta pada ahad pagi selepas subuh, 30/03/2014
kemarin menangkap S di Danukusuman. Pada satu hari sebelumnya, sabtu,
29/03/2014, polisi menangkap Z di Losari, RT 001/02, Semanggi Ps.
Kliwon. Berawal dari pengaduan seorang anak Punk yang merasa dianiaya
warga di perempatan Baturono. Anak Punk yang sebenarnya telah meresahkan
warga karena mengganggu lalulintas, mabuk-mabukan ketika dihajar warga
yang peduli, yakni Z justru pengaduannya diterima polisi dan segera
ditindaklanjuti dengan penangkapan Z.
Beberapa
anak Punk yang sering nongkrong di utara perempatan Baturono sudah amat
meresahkan warga. Aktivitas minum minuman keras, ngepil dan mengganggu
lalu lintas sudah seringkali diingatkan warga namun tidak ada perubahan.
Z atau Jaim adalah salah satu warga yang mengingatkan anak Punk.
Padahal semestinya Polisi-lah yang harus bertindak dengan kewenangan
yang dimilikinya. Saat warga tidak sabar dan bertindak maka warga juga
yang menjadi korban pihak keamanan.
Dugaan Penganiayaan Polisi Terhadap Z atau Jaim
Dalam
penangkapan yang kemudian dikembangkan menjadi perburuan orang-orang
yang dianggap pelaku perusakan Zensho Family Karaoke ini ternyata diduga
ada insiden penyiksaan aparat terhadap Z alias Jaim.
Hal itu
terungkap ketika keluarga besuk Jaim diruang Reskrim Polres Solo [1/4].
Jaim dengan nama asli Khuzamah mengaku dianiaya oleh anggota Polri saat
penangkapan didalam sebuah mobil dari rumah menuju Mapolres Solo. Pihak
keluarga menjelaskan bahwa Jaim merasa sakit pada bagian kepala, leher
dan Jaim. Jaim yang ditangkap karena ada laporan dari anak Punk yang
bernama Agus Yulianto dengan laporan polisi nomor : LP/34/III/2014/Sek
Pasar Kliwon. Dalam Surat Penangkapan diperintahkan FDK, HAR,PRI, dan GP
untuk melakukan penangkapan.
Dalam
audiensi elemen umat Islam dengan Kapolres Solo barang bukti Miras/Ciu
dalam botol dan beberapa bungkus bekas PIL diserahkan ke Wakasat Reskrim
AKP Ari dan Kasat Intelkam Kompol Fakhrudin. Pada saat penyerahan
disaksikan oleh Ust. Sholeh Ibrahim dari JAT Solo dan Edi Lukito dari
LUIS [30/3], demikian dikutip dari detikmuslim.com.
Kini Z
atau jaim dan S disangkakan dan dijerat Pasal 170 ayat (1) dan (2)
tentang kekerasan terhadap barang dan orang. Keduanya secara
bersama-sama dengan 13 orang lainnya disangka merusak barang-barang di
zensho Family Karaoke, seperti pintu kaca, monitor computer, kulkas dan
gardu Linmas (Perlindungan Masyarakat) kelurahan Sriwedari yang berada
tak jauh dari Zensho.
Namun
pada saat penggeledahan di rumah Z atau Jaim, aparat kepolisian terkesan
amat berlebihan seperti menangani kasus terorisme. Polisi melakukan
penjagaan di tiap gang yang mengarah ke rumah Jaim dengan menggunakan
tutup muka, helm dan senjata laras panjang. Padahal barang bukti yang
dibawa dari rumah Jaim hanyalah jaket, celana panjang, masker dan helm.
Bagaimana Kabar Zensho ?
Seperti
yang kami lihat dari luar, aktivitas ‘bisnis’ berjalan terus, lancar dan
tanpa hambatan. Padahal tempat seperti itu disinyalir merupakan ajang
pegelaran Tari Telanjang dan tempat mabuk-mabukan.
Motto
Solo sebagai Kota Bersih dan Berbudaya seperti terpampang besar dan
jelas di depan gedung DPRD seakan hanya slogan kosong tanpa makna. Yakni
apabila pihak berwenang di kota Solo –dalam hal ini Polisi- malah
terkesan mendiamkan tempat-tempat yang diduga kuat sebagai sumber-sumber
kekotoran dan penyakit masyarakat (Mo-Limo yakni Maling (mencuri, termasuk juga korupsi), madat (nyabu), main (berjudi), minum (mabuk-mabukan), dan madon (main perempuan).
Ada
keanehan yang terselip dalam kasus diatas. Anak Punk diberi pelajaran
oleh warga kemudian melapor polisi. Polisi segera menindaklanjuti
laporan dengan aksi penangkapan warga. Apa yang sebenarnya terjadi
persis saat-saat pesta demokrasi berlangsung? Apa yang menghubungkan
kepolisian hingga percaya dengan anak Punk yang bermental pemberontakan
terhadap segala kemapanan itu? Lalu endingnya, siapa pula yang
diuntungkan dengan kasus ini ?
Quo vadis Solo, the heart of Java…? (Abu Fatih/dbs/voa Islam)
0 komentar:
Posting Komentar