Breaking News
Loading...
Rabu, 23 April 2014

Nazaruddin Tuduh Presiden SBY

02.55
Mantan Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin
Ada tuduhan Presiden SBY menerima dana Bank Century. Tapi anehnya, KPK seakan mempeti-eskan hasil pemeriksaan itu. KPK hanya alat Presiden SBY?
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, mestinya punya rasa malu. Apalagi dulunya mereka umumnya adalah para tokoh masyarakat yang dihormati.
Di situ ada Busyro Muqoddas, tokoh Muhammadiyah, ahli hukum, dan pengajar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Ada pula Bambang Widjojanto, aktivis HAM yang bertahun-tahun malang-melintang dalam gerakan penegakan hukum lewat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang didirikan pengacara terkenal Adnan Buyung Nasution, seniornya.

Mengapa rasa malu mereka sekarang dipertanyakan? Begini. Ketika dulu didirikan KPK betul-betul menjadi gantungan harapan rakyat untuk memecahkan masalah korupsi yang merajalela terutama di zaman reformasi ini.
Untuk itu mereka diberi gaji, fasilitas, dan kekuasaan besar. Mereka bisa menangkap siapa saja (termasuk polisi atau  jaksa), bisa mengintai dan menyadap pembicaraan orang baik langsung maupun lewat telepon. Hak-hak perorangan atau pribadi tersebut otomatis sudah dikuasai badan anti-korupsi itu sehingga tak bisa lagi dinikmati sepenuhnya oleh warganegara.
Dalam berbagai kasus terbukti KPK merekam pembicaraan pribadi target yang disadap. Dalam kasus anggota DPR Al Amin Nasution, misalnya, KPK membongkar hubungannya dengan seorang wanita sehingga istrinya, penyanyi Kristina, kontan menggugat cerai. Akhirnya, rumah tangga anggota DPR dari PPP yang kemudian divonis karena kasus korupsi dalam pelepasan kawasan hutan lindung di Sumatera Selatan itu, hancur berantakan.
KPK juga membongkar cerita para wanita yang menjadi pacar Ahmad Fathanah, terdakwa kasus korupsi impor sapi, bersama anggota DPR dan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq. Apa pun alasannya tindakan KPK itu sudah berlebihan. Soalnya, KPK didirikan untuk melawan korupsi bukan memecah-belah rumah tangga orang.
Tindakan KPK yang berlebihan itu bukan tanpa sebab. Tampaknya KPK sengaja menyiapkan semuanya agar menarik minat wartawan. Kisah korupsi (walau pun yang terjaring kebanyakan cuma kelas teri) menjadi berita menarik bagi wartawan karena bumbu-bumbu wanita cantik tadi yang berseliweran keluar-masuk gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan.
Dengan instansi lain yang lebih dulu ada seperti kepolisian dan kejaksaan, KPK ditugaskan undang-undang untuk melakukan koordinasi dan supervisi. Sementara itu KPK tetap mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan bahkan penuntutan terhadap perkara korupsi. Belakangan, mungkin karena merasa kekuasaannya masih kurang besar, KPK menangani pula perkara pencucian uang. Dengan itu wewenang dan kekuasaan KPK terus melebar.
Tapi nyatanya sudah 10 tahun KPK berdiri kejahatan korupsi di Indonesia sedikit pun tak berkurang. Tulisan ini tak bermaksud untuk mendiskreditkan KPK. Tapi data yang ada memang menunjukkan demikian. Secara obyektif, lihatlah indeks (pemberantasan) korupsi Indonesia yang tetap  berada di peringkat bawah. Bahkan untuk kawasan Asia Tenggara (Asean) saja, Indonesia berada di bawah Thailand, Malaysia, Brunai, dan Filipina.
Peringkat ini sama saja ketika dulu belum ada KPK. Kalau begitu, apa guna KPK yang setiap tahun menghabiskan uang rakyat lewat APBN? Belum lagi KPK ‘’jago’’ menguber bantuan luar negeri dari lembaga internasional.
Survei untuk mengukur peringkat korupsi yang dilakukan Transparency International  (TI) yang bemarkas di Berlin, Jerman,  pada tahun lalu (2012) terhadap 176 negara, menempatkan Indonesia di peringkat 118 dengan skor 32. Sebentar lagi, menjelang akhir tahun, Transparency International  akan mengeluarkan indeks korupsi tahun 2013 yang baru dan diduga posisi korupsi Indonesia tak akan jauh beda. Skornya akan tetap jelek.
Skor itu menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat keluar dari situasi korupsi yang sudah mengakar. Bertumbuhannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga bantuan hukum, bahkan berdirinya KPK selama 10 tahun ini, sama sekali tak berbekas pada gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Negeri ini tetap saja terdaftar sebagai salah satu negara paling korup di dunia.
PIMPINAN KPK TERGODA MAIN POLITIK
Dalam indeks ini secara global 5 negara yang memiliki peringkat atau skor tertinggi adalah Denmark, Finlandia, Selandia Baru, Swedia dan negara tetangga Singapura. Artinya, inilah 5 negara paling bersih dari korupsi di seluruh dunia. Sementara 5 negara dengan peringkat dan skor terbawah (negara paling korup) adalah Somalia, Korea Utara, Afghanistan, Sudan dan Myanmar.
Di kawasan ASEAN, Singapura yang secara global ada di peringkat lima, menduduki peringkat pertama. Artinya, Singapura adalah negara paling bersih dari korupsi di seluruh Asia Tenggara, disusul Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, Vietnam dan Myanmar.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa sudah 10 tahun KPK berdiri korupsi di Indonesia sedikit pun tak berkurang? Artinya, KPK itu hanya proyek menghambur-hamburkan duit negara melalui APBN setiap tahun tanpa menuai hasil yang signifikan. Lebih parah lagi, harapan rakyat yang begitu besar terhadap KPK untuk memberantas korupsi telah disia-siakan begitu saja. Memang itulah yang terjadi.
Soalnya, sejak berdiri pada 2003, dengan kekuasaan besar yang dimilikinya para pimpinan KPK lebih tergoda bermain politik. Mestinya KPK mengkoordinasikan aparat hukum seperti polisi dan kejaksaan untuk berperang melawan korupsi. Yang pertama harus dilakukan adalah mempersiapkan konsep dan program untuk menghapuskan korupsi yang sudah merebak di Indonesia sejak zaman VOC. Sudah tentu berbagai sistem yang ada harus diperbaiki sehingga kebocoran korupsi perlahan-lahan bisa ditutupi.
Tapi seperti sama diketahui bukan itu yang dilakukan KPK. Sejak berdiri sampai sekarang, KPK tak pernah memiliki konsep atau program untuk menghapuskan korupsi dari Indonesia. Mereka lebih tergoda untuk menggunakan kekuasaan besar yang diberikan. Mereka pun asyik tangkap sana, tangkap sini terhadap para koruptor tanpa sama sekali peduli pada program pencegahan.
Para pimpinan KPK jadi tambah asyik karena media mengelu-elukan mereka. Johan Budi, mantan wartawan yang menjadi Jurubicara KPK segera menjadi ‘’tokoh penting’’ yang diuber-uber  para juruwarta untuk menjadi narasumber penting mereka.
Seperti sama diketahui cerita lanjutannya tak sulit ditebak. Para pimpinan KPK pun menjelma menjadi orang-orang yang ditakuti para ‘’koruptor’’ karena menentukan nasib mereka: ditangkap atau tidak, ditahan atau dilepaskan.  Para wartawan memperkenalkan angkernya ‘’Jumat Keramat’’ di KPK. Artinya, orang yang dipanggil dan diperiksa di hari Jumat, dipastikan akan ditahan dan tak lagi pulang ke rumah.
Babak berikutnya bisa ditebak dengan gampang: pimpinan KPK mulai tergoda pada kepentingan-kepentingan pribadi atau vested interest. Itu terjadi dalam peristiwa yang populer disebut kasus Bibit-Chandra yang sangat mempermalukan KPK.
Kedua wakil ketua KPK itu (Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah) pada 2008, dikabarkan tersangkut ‘’main mata’’ dengan pengusaha Anggoro Widjojo, pemilik PT Masaro Radiocom. Perusahaan itu memiliki proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang dituduh KPK bermasalah. Disebut-sebut ketika itu, pengusaha Anggoro Widjojo harus merogoh kocek Rp 6,7 milyar sebagai ‘’servis’’ untuk para pimpinan KPK. Anggoro kemudian ‘’ngumpet’’ di Singapura.
Lebih parah lagi Ketua KPK pada waktu itu, Antasari Azhar, 10 Oktober 2008, pergi ke Singapura menemui Anggoro Widjojo, tersangka dalam perkara itu. Antasari beralasan  menemui pengusaha itu untuk mengkonfirmasi isu dana Rp 6,7 milyar yang diberikan Anggoro Widjojo kepada pimpinan KPK.
Citra KPK pun jadi lebih buruk ketika 4 Mei 2009, Antasari Azhar ditangkap dan ditahan polisi. Ketua KPK itu dituduh terlibat pembunuhan berencana terhadap Nasruddin Zulkarnain, Direktur PT Rajawali Putera Banjaran, anak perusahaan sebuah BUMN. Motif pembunuhan itu adalah cinta segitiga.
Dikabarkan Antasari punya hubungan gelap dengan istri muda Nasruddin. Hubungan itu terbongkar dan Antasari mendalangi sejumlah orang untuk membunuh Nasruddin. Di suatu pagi, sang korban ditembak mati oleh pembunuh bayaran di dalam mobil yang membawanya pulang dari lapangan golf.
Memang di balik cerita ini ada kisah lain. Konon apa yang dialami Antasari Azhar adalah hasil sebuah skenario yang dirancang untuk menjerumuskannya. Itu adalah sebagai balasan terhadap Antasari karena sebagai Ketua KPK dia dianggap paling bertanggungjawab dalam penangkapan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Pohan. Untuk diketahui, Aulia Pohan adalah besan kandung Presiden SBY, orang yang paling berkuasa di Indonesia.
Pohan kemudian divonis empat tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena terbukti menyelewengkan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar pada 2003.
Bersama Pohan turut diadili tiga mantan Deputi Gubernur BI yang lain, yaitu Maman H. Somantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Maman H. Somantri mendapat hukuman sama dengan Aulia. Sementara Bunbunan dan Aslim dihukum sedikit lebih ringan yaitu empat tahun penjara.
Dana YPPI itu juga digunakan para terdakwa untuk bantuan hukum bagi para mantan pejabat BI yang menghadapi tuntutan pidana, yaitu mantan Direksi BI Hendro Budianto, Paul Sutopo, dan Heru Supraptomo. Mereka menerima bantuan masing-masing Rp10 miliar.
Selain itu untuk alasan yang mirip, para terdakwa menyetujui memberikan dana Rp 25 miliar kepada mantan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono dan Rp13,5 miliar kepada mantan Deputi Gubernur BI Iwan R. Prawiranata. Kemudian ada pula dana YPPI Rp 31,5 milyar digunakan untuk membahas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan revisi UU Bank Indonesia di DPR. Itu menyebabkan sejumlah anggota DPR ikut masuk bui.
KPK DIGUNAKAN PRESIDEN
Kembali ke KPK,  tampaknya setelah penangkapan ketuanya, Antasari Azhar, pelan-pelan badan anti-korupsi ini seakan menjadi ‘’alat’’ pemerintah atau mungkin yang lebih tepat alat Presiden SBY. Begini. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terpaksa mengundurkan diri 23 Februari 2013, setelah sebelumnya Sprindik KPK (surat perintah penyidikan) atas nama Anas bocor kepada wartawan. Dengan Sprindik yang menyatakan Anas sebagai tersangka, otomatis dia harus mundur dari jabatannya di Partai Demokrat sesuai ketentuan internal partai.
Ternyata sampai sekarang sudah hampir setahun Anas belum juga diadili. Malah sampai cerita ini ditulis Anas belum juga ditangkap dan ditahan KPK. Tampaknya ada keraguan KPK menangkap dan menahannya karena minimnya bukti di tangan penyidik.
Kasus Anas ini menimbulkan kecurigaan bahwa KPK sedang ‘’digunakan’’ oleh Presiden SBY untuk kepentingan politik internalnya di Partai Demokrat. Jadi Sprindik tadi sengaja dibuat dan kemudian dibocorkan KPK agar tersebar ke media bahwa Anas seorang tersangka korupsi. Dengan demikian Anas terpaksa mengundurkan dari Ketua Umum Partai Demokrat, sesuatu yang memang diinginkan Presiden SBY. Nyatanya, setelah Anas mundur, akhirnya kursinya diduduki Presiden SBY. Sedangkan Sekjen tetap dipegang Ibas, putra kedua Presiden SBY.
Dengan demikian Partai Demokrat agaknya menjadi satu-satunya partai politik di dunia yang ketua umum dan sekjennya terdiri dari ayah dan anak kandung. Sungguh sebuah praktek nepotisme yang telanjang. Agak aneh kemudian ketika belum lama ini Presiden SBY mengkritik apa yang terjadi di Banten (bahwa Gubernur Ratu Atut Chosiyah dan saudara-saudaranya menempati jabatan kepala daerah di berbagai kota atau kabupaten).
Ratu Atut jelas dipilih oleh rakyat menjadi gubernur. Adik iparnya Airin, misalnya, menjadi Walikota Tangerang Selatan, juga melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung oleh rakyat. Begitu pula keluarganya yang menjadi bupati atau wakil bupati di berbagai daerah tadi. Semua ini adalah konsekuensi sistem demokrasi liberal yang kita anut.
Di Amerika Serikat, George Bush (Senior) dan anaknya George Bush sama-sama menjadi presiden dalam jarak waktu tak terlalu jauh. Tak ada rakyat Amerika Serikat yang mempersoalkannya.
Untung saja Hillary Clinton dikalahkan Barack Obama dalam konvensi Partai Demokrat pada 2008. Kalau saja dia yang menang dan kemudian terpilih jadi Presiden maka Amerika Serikat membuka sejarah baru: suami (Presiden Clinton) dan istri (Hillary Clinton) sama-sama menjadi Presiden Amerika Serikat.
Masalah kita sekarang KPK tampaknya kehilangan semangat kalau berhadapan dengan Presiden SBY. Akibatnya macam-macam. Yang paling mencolok adalah kasus Bank Century yang merugikan keuangan negara Rp 6,7 trilyun. Sampai sekarang perkara ini tak kunjung selesai di tangan KPK sehingga tak jelas kapan dibawa di pengadilan.
Jumat, 15 November lalu, KPK menangkap dan menahan Budi Mulya, salah satu mantan  Deputi Gubernur Bank Indonesia. Budi ditetapkan KPK sebagai tersangka atas dugaan bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dalam pemberian FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Akhir Desember 2012, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan kepada Tim Pengawas Bank Century di DPR bahwa Budi Mulya dan mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian negara yang timbul dalam kasus Bank Century. Pemeriksaan terhadap Siti Fajriah belum dilaksanakan karena yang bersangkutan sakit, dianggap tak dapat menjalani proses hukum.
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, penahanan Budi Mulya akan mengungkap aktor lain dalam perkara Century. Menurutnya KPK tengah mendalami dugaan keterlibatan pihak lain dalam korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century serta penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
“Itu adalah awal untuk mengungkap aktor lain selain Budi Mulya, agar bisa dilihat siapa saja orang yang terlibat dalam kasus Century ini,” kata Abraham di Jakarta, Minggu,  17 November lalu.
Abraham menambahkan, persidangan Budi nantinya akan menguak kasus Century secara lebih luas. Dia menegaskan, tak ada pihak yang dilindungi. Hanya saja KPK perlu dua alat bukti untuk menetapkan tersangka lain. Anda percaya? Bagaimana keterlibatan Budiono, Gubernur BI ketika peristiwa ini terjadi, dan kini menjadi Wakil Presiden?
Dalam sebuah surat dari pegawai KPK kepada Anas Urbaningrum, diungkapkan bahwa KPK telah memeriksa Nazaruddin, bekas Bendahara Partai Demokrat. Di situ Nazaruddin membuka terus terang tentang sejumlah dana Bank Century yang diterima Presiden SBY. Anehnya, meski berita acara itu sekarang ada di KPK, tak pernah ada tindak lanjutnya. Hasil pemeriksaan yang menuding Presiden SBY itu dipeti-eskan. (Amran Nasution – Suara Islam))

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer