Ada tuduhan Presiden SBY menerima
dana Bank Century. Tapi anehnya, KPK seakan mempeti-eskan hasil
pemeriksaan itu. KPK hanya alat Presiden SBY?
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, mestinya
punya rasa malu. Apalagi dulunya mereka umumnya adalah para tokoh
masyarakat yang dihormati.
Di situ ada Busyro Muqoddas, tokoh
Muhammadiyah, ahli hukum, dan pengajar Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta. Ada pula Bambang Widjojanto, aktivis HAM yang
bertahun-tahun malang-melintang dalam gerakan penegakan hukum lewat
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang didirikan pengacara
terkenal Adnan Buyung Nasution, seniornya.
Mengapa rasa malu mereka sekarang
dipertanyakan? Begini. Ketika dulu didirikan KPK betul-betul menjadi
gantungan harapan rakyat untuk memecahkan masalah korupsi yang
merajalela terutama di zaman reformasi ini.
Untuk itu mereka diberi gaji, fasilitas,
dan kekuasaan besar. Mereka bisa menangkap siapa saja (termasuk polisi
atau jaksa), bisa mengintai dan menyadap pembicaraan orang baik
langsung maupun lewat telepon. Hak-hak perorangan atau pribadi tersebut
otomatis sudah dikuasai badan anti-korupsi itu sehingga tak bisa lagi
dinikmati sepenuhnya oleh warganegara.
Dalam berbagai kasus terbukti KPK merekam
pembicaraan pribadi target yang disadap. Dalam kasus anggota DPR Al
Amin Nasution, misalnya, KPK membongkar hubungannya dengan seorang
wanita sehingga istrinya, penyanyi Kristina, kontan menggugat cerai.
Akhirnya, rumah tangga anggota DPR dari PPP yang kemudian divonis karena
kasus korupsi dalam pelepasan kawasan hutan lindung di Sumatera Selatan
itu, hancur berantakan.
KPK juga membongkar cerita para wanita
yang menjadi pacar Ahmad Fathanah, terdakwa kasus korupsi impor sapi,
bersama anggota DPR dan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq. Apa pun
alasannya tindakan KPK itu sudah berlebihan. Soalnya, KPK didirikan
untuk melawan korupsi bukan memecah-belah rumah tangga orang.
Tindakan KPK yang berlebihan itu bukan
tanpa sebab. Tampaknya KPK sengaja menyiapkan semuanya agar menarik
minat wartawan. Kisah korupsi (walau pun yang terjaring kebanyakan cuma
kelas teri) menjadi berita menarik bagi wartawan karena bumbu-bumbu
wanita cantik tadi yang berseliweran keluar-masuk gedung KPK untuk
menjalani pemeriksaan.
Dengan instansi lain yang lebih dulu ada
seperti kepolisian dan kejaksaan, KPK ditugaskan undang-undang untuk
melakukan koordinasi dan supervisi. Sementara itu KPK tetap mempunyai
kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan bahkan penuntutan
terhadap perkara korupsi. Belakangan, mungkin karena merasa kekuasaannya
masih kurang besar, KPK menangani pula perkara pencucian uang. Dengan
itu wewenang dan kekuasaan KPK terus melebar.
Tapi nyatanya sudah 10 tahun KPK berdiri
kejahatan korupsi di Indonesia sedikit pun tak berkurang. Tulisan ini
tak bermaksud untuk mendiskreditkan KPK. Tapi data yang ada memang
menunjukkan demikian. Secara obyektif, lihatlah indeks (pemberantasan)
korupsi Indonesia yang tetap berada di peringkat bawah. Bahkan untuk
kawasan Asia Tenggara (Asean) saja, Indonesia berada di bawah Thailand,
Malaysia, Brunai, dan Filipina.
Peringkat ini sama saja ketika dulu belum
ada KPK. Kalau begitu, apa guna KPK yang setiap tahun menghabiskan uang
rakyat lewat APBN? Belum lagi KPK ‘’jago’’ menguber bantuan luar negeri
dari lembaga internasional.
Survei untuk mengukur peringkat korupsi
yang dilakukan Transparency International (TI) yang bemarkas di Berlin,
Jerman, pada tahun lalu (2012) terhadap 176 negara, menempatkan
Indonesia di peringkat 118 dengan skor 32. Sebentar lagi, menjelang
akhir tahun, Transparency International akan mengeluarkan indeks
korupsi tahun 2013 yang baru dan diduga posisi korupsi Indonesia tak
akan jauh beda. Skornya akan tetap jelek.
Skor itu menunjukkan bahwa Indonesia
belum dapat keluar dari situasi korupsi yang sudah mengakar.
Bertumbuhannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga bantuan
hukum, bahkan berdirinya KPK selama 10 tahun ini, sama sekali tak
berbekas pada gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Negeri ini
tetap saja terdaftar sebagai salah satu negara paling korup di dunia.
PIMPINAN KPK TERGODA MAIN POLITIK
Dalam indeks ini secara global 5 negara
yang memiliki peringkat atau skor tertinggi adalah Denmark, Finlandia,
Selandia Baru, Swedia dan negara tetangga Singapura. Artinya, inilah 5
negara paling bersih dari korupsi di seluruh dunia. Sementara 5 negara
dengan peringkat dan skor terbawah (negara paling korup) adalah Somalia,
Korea Utara, Afghanistan, Sudan dan Myanmar.
Di kawasan ASEAN, Singapura yang secara
global ada di peringkat lima, menduduki peringkat pertama. Artinya,
Singapura adalah negara paling bersih dari korupsi di seluruh Asia
Tenggara, disusul Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Filipina,
Indonesia, Vietnam dan Myanmar.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa sudah
10 tahun KPK berdiri korupsi di Indonesia sedikit pun tak berkurang?
Artinya, KPK itu hanya proyek menghambur-hamburkan duit negara melalui
APBN setiap tahun tanpa menuai hasil yang signifikan. Lebih parah lagi,
harapan rakyat yang begitu besar terhadap KPK untuk memberantas korupsi
telah disia-siakan begitu saja. Memang itulah yang terjadi.
Soalnya, sejak berdiri pada 2003, dengan
kekuasaan besar yang dimilikinya para pimpinan KPK lebih tergoda bermain
politik. Mestinya KPK mengkoordinasikan aparat hukum seperti polisi dan
kejaksaan untuk berperang melawan korupsi. Yang pertama harus dilakukan
adalah mempersiapkan konsep dan program untuk menghapuskan korupsi yang
sudah merebak di Indonesia sejak zaman VOC. Sudah tentu berbagai sistem
yang ada harus diperbaiki sehingga kebocoran korupsi perlahan-lahan
bisa ditutupi.
Tapi seperti sama diketahui bukan itu
yang dilakukan KPK. Sejak berdiri sampai sekarang, KPK tak pernah
memiliki konsep atau program untuk menghapuskan korupsi dari Indonesia.
Mereka lebih tergoda untuk menggunakan kekuasaan besar yang diberikan.
Mereka pun asyik tangkap sana, tangkap sini terhadap para koruptor tanpa
sama sekali peduli pada program pencegahan.
Para pimpinan KPK jadi tambah asyik
karena media mengelu-elukan mereka. Johan Budi, mantan wartawan yang
menjadi Jurubicara KPK segera menjadi ‘’tokoh penting’’ yang
diuber-uber para juruwarta untuk menjadi narasumber penting mereka.
Seperti sama diketahui cerita lanjutannya
tak sulit ditebak. Para pimpinan KPK pun menjelma menjadi orang-orang
yang ditakuti para ‘’koruptor’’ karena menentukan nasib mereka:
ditangkap atau tidak, ditahan atau dilepaskan. Para wartawan
memperkenalkan angkernya ‘’Jumat Keramat’’ di KPK. Artinya, orang yang
dipanggil dan diperiksa di hari Jumat, dipastikan akan ditahan dan tak
lagi pulang ke rumah.
Babak berikutnya bisa ditebak dengan
gampang: pimpinan KPK mulai tergoda pada kepentingan-kepentingan pribadi
atau vested interest. Itu terjadi dalam peristiwa yang populer disebut
kasus Bibit-Chandra yang sangat mempermalukan KPK.
Kedua wakil ketua KPK itu (Bibit Samad
Rianto dan Chandra Hamzah) pada 2008, dikabarkan tersangkut ‘’main
mata’’ dengan pengusaha Anggoro Widjojo, pemilik PT Masaro Radiocom.
Perusahaan itu memiliki proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu
(SKRT) di Departemen Kehutanan yang dituduh KPK bermasalah.
Disebut-sebut ketika itu, pengusaha Anggoro Widjojo harus merogoh kocek
Rp 6,7 milyar sebagai ‘’servis’’ untuk para pimpinan KPK. Anggoro
kemudian ‘’ngumpet’’ di Singapura.
Lebih parah lagi Ketua KPK pada waktu
itu, Antasari Azhar, 10 Oktober 2008, pergi ke Singapura menemui Anggoro
Widjojo, tersangka dalam perkara itu. Antasari beralasan menemui
pengusaha itu untuk mengkonfirmasi isu dana Rp 6,7 milyar yang diberikan
Anggoro Widjojo kepada pimpinan KPK.
Citra KPK pun jadi lebih buruk ketika 4
Mei 2009, Antasari Azhar ditangkap dan ditahan polisi. Ketua KPK itu
dituduh terlibat pembunuhan berencana terhadap Nasruddin Zulkarnain,
Direktur PT Rajawali Putera Banjaran, anak perusahaan sebuah BUMN. Motif
pembunuhan itu adalah cinta segitiga.
Dikabarkan Antasari punya hubungan gelap
dengan istri muda Nasruddin. Hubungan itu terbongkar dan Antasari
mendalangi sejumlah orang untuk membunuh Nasruddin. Di suatu pagi, sang
korban ditembak mati oleh pembunuh bayaran di dalam mobil yang
membawanya pulang dari lapangan golf.
Memang di balik cerita ini ada kisah
lain. Konon apa yang dialami Antasari Azhar adalah hasil sebuah skenario
yang dirancang untuk menjerumuskannya. Itu adalah sebagai balasan
terhadap Antasari karena sebagai Ketua KPK dia dianggap paling
bertanggungjawab dalam penangkapan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI)
Aulia Pohan. Untuk diketahui, Aulia Pohan adalah besan kandung Presiden
SBY, orang yang paling berkuasa di Indonesia.
Pohan kemudian divonis empat tahun enam
bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) karena terbukti menyelewengkan dana Yayasan Pengembangan
Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar pada 2003.
Bersama Pohan turut diadili tiga mantan
Deputi Gubernur BI yang lain, yaitu Maman H. Somantri, Bunbunan Hutapea,
dan Aslim Tadjuddin. Maman H. Somantri mendapat hukuman sama dengan
Aulia. Sementara Bunbunan dan Aslim dihukum sedikit lebih ringan yaitu
empat tahun penjara.
Dana YPPI itu juga digunakan para
terdakwa untuk bantuan hukum bagi para mantan pejabat BI yang menghadapi
tuntutan pidana, yaitu mantan Direksi BI Hendro Budianto, Paul Sutopo,
dan Heru Supraptomo. Mereka menerima bantuan masing-masing Rp10 miliar.
Selain itu untuk alasan yang mirip, para
terdakwa menyetujui memberikan dana Rp 25 miliar kepada mantan Gubernur
BI Sudradjad Djiwandono dan Rp13,5 miliar kepada mantan Deputi Gubernur
BI Iwan R. Prawiranata. Kemudian ada pula dana YPPI Rp 31,5 milyar
digunakan untuk membahas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan
revisi UU Bank Indonesia di DPR. Itu menyebabkan sejumlah anggota DPR
ikut masuk bui.
KPK DIGUNAKAN PRESIDEN
Kembali ke KPK, tampaknya setelah
penangkapan ketuanya, Antasari Azhar, pelan-pelan badan anti-korupsi ini
seakan menjadi ‘’alat’’ pemerintah atau mungkin yang lebih tepat alat
Presiden SBY. Begini. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum
terpaksa mengundurkan diri 23 Februari 2013, setelah sebelumnya Sprindik
KPK (surat perintah penyidikan) atas nama Anas bocor kepada wartawan.
Dengan Sprindik yang menyatakan Anas sebagai tersangka, otomatis dia
harus mundur dari jabatannya di Partai Demokrat sesuai ketentuan
internal partai.
Ternyata sampai sekarang sudah hampir
setahun Anas belum juga diadili. Malah sampai cerita ini ditulis Anas
belum juga ditangkap dan ditahan KPK. Tampaknya ada keraguan KPK
menangkap dan menahannya karena minimnya bukti di tangan penyidik.
Kasus Anas ini menimbulkan kecurigaan
bahwa KPK sedang ‘’digunakan’’ oleh Presiden SBY untuk kepentingan
politik internalnya di Partai Demokrat. Jadi Sprindik tadi sengaja
dibuat dan kemudian dibocorkan KPK agar tersebar ke media bahwa Anas
seorang tersangka korupsi. Dengan demikian Anas terpaksa mengundurkan
dari Ketua Umum Partai Demokrat, sesuatu yang memang diinginkan Presiden
SBY. Nyatanya, setelah Anas mundur, akhirnya kursinya diduduki Presiden
SBY. Sedangkan Sekjen tetap dipegang Ibas, putra kedua Presiden SBY.
Dengan demikian Partai Demokrat agaknya
menjadi satu-satunya partai politik di dunia yang ketua umum dan
sekjennya terdiri dari ayah dan anak kandung. Sungguh sebuah praktek
nepotisme yang telanjang. Agak aneh kemudian ketika belum lama ini
Presiden SBY mengkritik apa yang terjadi di Banten (bahwa Gubernur Ratu
Atut Chosiyah dan saudara-saudaranya menempati jabatan kepala daerah di
berbagai kota atau kabupaten).
Ratu Atut jelas dipilih oleh rakyat
menjadi gubernur. Adik iparnya Airin, misalnya, menjadi Walikota
Tangerang Selatan, juga melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada)
langsung oleh rakyat. Begitu pula keluarganya yang menjadi bupati atau
wakil bupati di berbagai daerah tadi. Semua ini adalah konsekuensi
sistem demokrasi liberal yang kita anut.
Di Amerika Serikat, George Bush (Senior)
dan anaknya George Bush sama-sama menjadi presiden dalam jarak waktu tak
terlalu jauh. Tak ada rakyat Amerika Serikat yang mempersoalkannya.
Untung saja Hillary Clinton dikalahkan
Barack Obama dalam konvensi Partai Demokrat pada 2008. Kalau saja dia
yang menang dan kemudian terpilih jadi Presiden maka Amerika Serikat
membuka sejarah baru: suami (Presiden Clinton) dan istri (Hillary
Clinton) sama-sama menjadi Presiden Amerika Serikat.
Masalah kita sekarang KPK tampaknya
kehilangan semangat kalau berhadapan dengan Presiden SBY. Akibatnya
macam-macam. Yang paling mencolok adalah kasus Bank Century yang
merugikan keuangan negara Rp 6,7 trilyun. Sampai sekarang perkara ini
tak kunjung selesai di tangan KPK sehingga tak jelas kapan dibawa di
pengadilan.
Jumat, 15 November lalu, KPK menangkap
dan menahan Budi Mulya, salah satu mantan Deputi Gubernur Bank
Indonesia. Budi ditetapkan KPK sebagai tersangka atas dugaan
bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan
wewenang dalam pemberian FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) dan
penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Akhir Desember 2012, Ketua KPK Abraham
Samad mengatakan kepada Tim Pengawas Bank Century di DPR bahwa Budi
Mulya dan mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah merupakan pihak yang
bertanggung jawab atas kerugian negara yang timbul dalam kasus Bank
Century. Pemeriksaan terhadap Siti Fajriah belum dilaksanakan karena
yang bersangkutan sakit, dianggap tak dapat menjalani proses hukum.
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan,
penahanan Budi Mulya akan mengungkap aktor lain dalam perkara Century.
Menurutnya KPK tengah mendalami dugaan keterlibatan pihak lain dalam
korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank
Century serta penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
“Itu adalah awal untuk mengungkap aktor
lain selain Budi Mulya, agar bisa dilihat siapa saja orang yang terlibat
dalam kasus Century ini,” kata Abraham di Jakarta, Minggu, 17 November
lalu.
Abraham menambahkan, persidangan Budi
nantinya akan menguak kasus Century secara lebih luas. Dia menegaskan,
tak ada pihak yang dilindungi. Hanya saja KPK perlu dua alat bukti untuk
menetapkan tersangka lain. Anda percaya? Bagaimana keterlibatan
Budiono, Gubernur BI ketika peristiwa ini terjadi, dan kini menjadi
Wakil Presiden?
Dalam sebuah surat dari pegawai KPK
kepada Anas Urbaningrum, diungkapkan bahwa KPK telah memeriksa
Nazaruddin, bekas Bendahara Partai Demokrat. Di situ Nazaruddin membuka
terus terang tentang sejumlah dana Bank Century yang diterima Presiden
SBY. Anehnya, meski berita acara itu sekarang ada di KPK, tak pernah ada
tindak lanjutnya. Hasil pemeriksaan yang menuding Presiden SBY itu
dipeti-eskan. (Amran Nasution – Suara Islam))
0 komentar:
Posting Komentar